Senin, 06 September 2010

Rabu, 20 Februari 2008

Serba-serbi Wakatobi

Kabupaten Wakatobi
Kabupaten Wakatobi adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Wangi-Wangi, dibentuk berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003. Luas wilayah 823 km2 dan pada tahun 2003 berpenduduk 91.497 jiwa, terdiri dari laki-laki 44.843 jiwa dan perempuan 46.654 jiwa.
Wakatobi juga merupakan nama kawasan taman nasional yang ditetapkan pada tahun 1996, dengan total area 1,39 juta ha, menyangkut keanekaragaman hayati laut, skala dan kondisi karang; yang menempati salah satu posisi prioritas tertinggi dari konservasi laut di Indonesia.
PDRB Kabupaten Wakatobi berdasarkan harga berlaku pada tahun 2003 sebesar Rp. 179.774,04 juta, sedikit lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp. 160.473,67 juta. Berdasarkan harga berlaku, PDRB Perkapita Kabupaten Wakatobi pada tahun 2002 adalah sebesar 1.833.775,23 rupiah, menjadi 2.026.993,35 rupiah pada tahun 2003 atau naik sebesar 10,54 persen.

Selasa, 19 Februari 2008

Penamaan lokasi


FENOMENA PENAMAAN LOKASI DI KABUPATEN BOMBANA
Jamaluddin M.

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu wilayah dari pulau Sulawesi yang memiliki ciri khas tersendiri dalam memilih bentuk penamaan lokasi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi alam tempat permukiman juga dipengaruhi oleh kedatangan suku-suku lain, khususnya invasi (baik secara damai maupun kekerasan) yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya. Selain itu, setelah berlalunya masa kekuasaan kerajaan, kedatangan suku-suku lain ini didorong oleh motif mencari nafkah melalui perdagangan dan pertanian, juga untuk menyebarkan agama tertentu kepada penduduk asli. Keadaan seperti ini banyak ditemukan di kabupaten Bombana yang penamaan lokasinya banyak mendapat pengaruh dari bahasa lain.
Tak ada satupun bahasa yang luput dari pengaruh bahasa atau dialek lain, termasuk bahasa-bahasa yang ada di Sulawesi Tenggara. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap pola penamaan lokasi. Ada kalanya suatu daerah penamaan lokasinya menggunakan bahasa daerah setempat, tetapi karena daerah tersebut banyak dihuni oleh para pendatang, berpengaruh pula pada penamaan lokasi daerah tersebut.
Perlu dipahami bahwa penamaan lokasi merupakan salah satu kajian sastra yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang latar belakang atau sejarah penamaan lokasi suatu daerah. Penamaan lokasi suatu daerah juga tidak terlepas dari aspek bahasa daerah itu sendiri yang turut mempengaruhinya.
Bahasa Moronene yang merupakan bahasa masyarakat asli di Kabupaten Bombana, mendominasi pemakaiannya dalam hal penamaan lokasi di Kabupaten Bombana. Sebelum menjelaskan penamaan lokasi yang lain, kita harus memahami dulu penamaan Moronene itu sendiri. Hal ini perlu dikemukakan karena ada pendapat yang mengatakan bahwa menyebut Bombana berarti sama saja menyebut Moronene. Kata Moronene merupakan kata yang terdiri dari kata ‘Moro’ dan ‘Nene’. Kata ‘Moro’ dalam bahasa Moronene berarti semacam atau serupa. Contoh: Morolemo (Moro dan Lemo) artinya yang serupa/semacam lemon. Kata ‘Nene’ dalam bahasa Moronene berarti resam (pohon resam). Jadi, penamaan Moronene adalah berasal dari nama sejenis tumbuhan yang menyerupai pohon resam.
Selain bahasa Moronene, terdapat bahasa lain yang digunakan dalam penamaan lokasi di Kabupaten Bombana. Contoh yang dapat dikemukakan yaitu penamaan Boeara yang berasal dari bahasa Bajo. Kata Boeara terdiri dari kata ‘boe’ yang berarti air, ‘ara’ yang berarti payau. Jadi, dasar penamaan Boera adalah karena air pada daerah ini payau. Contoh lain yaitu penamaan Boepinang berasal dari bahasa Bajo. Nama ini terdiri dari dua kata yaitu ‘boe’ yang artinya air dan kata ‘pinang’ yang artinya pohon pinang.
Yang menarik dalam hal penamaan lokasi ini adalah adanya intervensi atau pengaruh bahasa daerah lain yang turut mempengaruhi penamaan lokasi daerah tertentu. Contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah penamaan Poleang. Poleang dari asal kata “Polea” yang berarti penyeberangan. Kata ‘Polea’ adalah bahasa asli suku Moronene yang terdiri dari kata ‘Polea’ dan mendapat tekanan akhiran “a”. Penamaan Polea juga dapat ditelusuri dari sejarah penaman lokasi daerah itu sendiri. Selain faktor yang telah disebutkan tadi, penamaan Polea juga tidak lepas dari nama kerajaan yang ada di daerah Moronene. Dalam kada (epos kepahlawanan) diceritakan bahwa kerajaan Moronene adalah kerajaan yang sangat makmur. Rakyatnya hidup rukun dan damai. Hasil alamnya sangat melimpah yang bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Kemudian kerjaaan Moronene ditimpa perpecahan yang menyebabkan terbaginya daerah itu menjadi tiga kerajaan, yaitu kerajaan Rumbia, kerajaan Kotua, dan kerajaan Polea.
Dalam keseharian yang biasa kita dengar, Polea lebih dikenal dengan nama Poleang. Hal ini disebabkan oleh pengaruh para pendatang (terutama suku Bugis) yang dikenal sebagai masyarakat pemakai bahasa konsonan, artinya masyarakat yang menyebutkan suatu kata yang berakhiran vokal menjadi konsonan. Contohnya pada kata Polea tadi, lidah para pendatang itu lebih nyaman dengan menyebut Polea dengan Poleang.
Contoh lain yang dapat dikemukakan di sini berkaitan dengan hal di atas adalah penamaan Lameong-Meong. Penamaan Lameong-Meong berasal dari bahasa Moronene, yaitu Lameo-Meo. Lameo-Meo dalam bahasa Moronene berarti daerah yang sepanjang sungainya ditumbuhi tumbuhan meo. Dalam bahasa Moronene, ‘meo’ adalah sejenis pohon besar yang batangnya dapat dibuat papan. Kedatangan suku-suku lain di Bombana, khususnya suku Bugis telah mengubah penamaan lokasi Lameo-Meo. Suku Bugis yang dikenal sebagai pemakai bahasa konsonan telah mempengaruhi penamaan lokasi Lameo-Meo menjadi Lameong-Meong.
Fenomena lain yang dapat kita lihat pada penamaan lokasi di Kabupaten Bombana adalah adanya kecederungan pemberian nama berdasarkan topografis. Ada beberapa penamaan lokasi yang menggunakan topografi daerah sebagai dasar penamaan suatu daerah. Contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah lokasi Ladumpi. Ladumpi berasal dari bahasa Moronene yang artinya kali (sungai) yang sempit. Secara geografis, ada versi mengatakan bahwa Ladumpi adalah suatu tempat pertemuan gunung yang sempit sehingga kali atau sungainya disebut Ladumpi atau sungai yang sempit karena diapit oleh dua gunung.
Fenomena-fenomena penaamaan lokasi yang ada di Kabupaten Bombana, bisa saja juga terjadi di daerah lain. Untuk itu, perlu suatu penelusuran lebih jauh tentang penamaan lokasi di daerah lain.



Penulis adalah staf Kantor Bahasa
Provinsi Sulawesi Tenggara